Syaikhona KH Maemun Zubair

Syaikhona KH Maemun Zubair

Ahli Tarikh yang Istikamah di Pesantren

Oleh Agus Fathuddin Yusuf*

Tahun 2003 saya bertemu Mbah Mun, panggilan akrab KH Maemun Zubair, di Makkah. Kebetulan maktab saya di Jarwal dan Mbah Mun di Syamiah. Kalau mau ke masjidil Haram, dari Jarwal pasti melewati Syamiah. Maktab itu sekarang sudah rata dengan tanah digempur untuk perluasan Masjidil Haram.

Saya heran, Mbah Mun, kiai sekaliber itu, yang sangat dihormati di Indonesia kok tinggal di maktab. Tidak di hotel bintang seperti Daar Al-Tauhid atau Hotel Hilton yang jaraknya hanya 10 meter dari Haram. “Sami mawon mas Agus. Teng mriki nggih sekeca,” kata Mbah Mun. Saat makan siang tiba, dia minta santrinya mengeluarkan semua persediaan makanan. Tidak lupa menu kesukaannya yaitu oseng cumi kuah hitam dan sambal terasi.

Saya ingat menu itu juga selalu ada bila sowan ke ndalem Mbah Mun, di kompleks Pondok Pesantren Al-Anwar, Karangmangu,Serang, Rembang. Meski tergolong kiai khos, Mbah Mun selalu berpenampilan sederhana dan apa adanya. Tak membeda- bedakan siapa saja tamunya. Semua dilayaninya dengan baik.

Beberapa saat kemudian, saya bersama Mbah Mun dan Drs Chabib Thoha MA, waktu itu Kepala Kanwil Depag Jateng diajak sowan Sayid Muhammad Al-Maliki Al-Hasani di Kawasan Rusyaifah, sekitar 8km dari Makkah. Saya menangis saat berkesempatan bersalaman dan mencium tangan ulama besar itu. Meski sudah diingatkan tidak boleh mengambil gambar, tetapi naluri wartawan saya memaksa untuk mengabadikan moment itu. Maka Mbah Mun memintakan izin Sayid untuk foto bersama. “Suroh, suroh…”kata Sayid. Di tempat itu saya berkenalan dengan Gus Anam, KH Zuhrul Anam Purwokerto yang jadi putra menantu Mbah Mun.

Salah satu kelebihannya yaitu daya ingat yang sangat kuat. Kalau sudah cerita soal tarikh atau Sirrah Rasul, maka Mbah Mun bisa bicara berjam- jam. Ketika saya berkesempatan ngaji Tafsir Jalalain di Pondok Pesantren Ma’had Ilmi Syar’iyyah (MIS) yang dipimpin KH Abdurrochim (Mbah Chiem), saya juga ikut mendengarkan pengajian Mbah Mun. Maka suatu kebanggaan yang luar biasa setiap sowan ke Sarang, selalu mengenalkan kepada tamu yang lain sebagai santri alumni Sarang yang jadi wartawan. Meski tidak mondok puluhan tahun Alhamdulilah saya diakui Mbah Mun sebagai santrinya.

KH Maimun Zaubair adalah gambaran sempurna dari pribadi yang santun dan matang.

Semua itu bukanlah kebetulan, sebab sejak dini beliau hidup dalam tradisi pesantren diasuh langsung oleh ayah dan kakeknya sendiri. Beliau membuktikan bahwa ilmu tidak harus menyulap pemiliknya menjadi tinggi hati ataupun ekslusif dibanding yang lainnya. Beliau lahir pada hari Kamis, 28 Oktober 1928. Beliau adalah putra pertama dari Kiai Zubair Dahlan. Seorang Kiai yang tersohor karena kesederhanaannya dan sifatnya yang merakyat, salah seorang murid pilihan dari Syaikh Sa’id Al-Yamani serta Syaikh Hasan Al-Yamani Al-Makky, dua ulama yang kesohor pada saat itu. Ibundanya adalah putrid dari Kiai Ahmad bin Syu’aib, ulama kharismatik yang teguh memegang pendirian. Kematangan ilmunya tidak ada satupun yang meragukan. Sebab sedari kecil beliau sudah dibesarkan dengan ilmu- ilmu agama. Sebelum menginjak remaja, beliau diasuh langsung oleh ayahandanya untuk menghafal dan memahami ilmu Shorof, Nahwu, Fiqih, Manthiq, Balaghah dan bermacam – macam ilmu Syara’ lainnya.

Pada usia sekitar 17 tahun, beliau sudah hafal diluar kepala kitab Jurumiyyah, Imrithi, Alfiyyah Ibnu Malik, Matan Jauharotut Tauhid, Sullamul Munauroq serta Rohabiyyah fil Faroidl. Seiring pula dengan kepiawaiannya melahap kitab- kitab fiqh madzhab Asy-Syadi’I, semisal Fathul Qorib, Fathul Nu’in, Fathul Wahab dan lain sebagainya.

Pada tahun 1945 beliau memulai penggembaraanya ke Pondok Lirboyo Kediri, selama kurang lebih lima tahun, dibawah bimbingan KH Abdul Karim (Mbah Manaf), KH.Mahrus Ali dan KH Marzuqi. Menginjak usia 21 tahun, beliau meneruskan pengembaraanya ke Makkah Al- Mukarromah, selama kurang lebih 2 tahun berkutat dengan ilmu- ilmu agama di dalam bimbingan Sayid’Alawi bin Abbas Al-Maliki, Syaikh Yasin bin Isa Al-Fadani dan masih banyak lagi.

Sekembalinya dari Tanah suci, beliau masih mengasah dan memperkaya pengetahuannya dengan belajar kepada ulama- ulama besar tanah Jawa saat itu.

Seperti KH.Baidlowi lasem (mertua beliau), KH Ma’shum lasem, KH Ali Ma’shum Krapyak Yogyakarta, KH Bisri Musthofa Rembang, KH Abdul Wahhab Hasbullah, KH Mushlih Abdurrachman Mranggen, KH Abbas, Buntet Cirebon, Sayikh Ihsan, Jampes Kediri dan juga KH Abul Fadhol, Senori.

Pada tahun 1965 beliau mengabdikan diri untuk berkhidmat pada ilmu- ilmu agama. Hal itu diiringi dengan berdirinya Pondok Pesantren yang berada disisi kediaman Beliau. Pesantren yang diisi ribuan santri putra dan putrid yang sekarang dikenal dengan nama Al-Anwar. Satu dari sekian pesantren yang ada di Karangmangu, Sarang Rembang. Kemudian sekitar tahun 2008 beliau kembali mengibarkan sayapnya dengan mendirikan Pondok Pesantren Al- Anwar 2 di Gondan Sarang Rembang, yang kemudian oleh beliau dipasrahkan pengasuhannya kepada putranya KH Ubab Maimun (Gus Bab) Mbah Mun banyak dikenal dan mengenal erat tokoh- tokoh nasional, tapi itu tidak menjadikannya tercerabut dari basis tradisinya semula. Sementara walau sering kali menjadi peraduan bagi keluh kesah masyarakat tapi semua itu tetap tidak menghalanginya untuk menyelami dunia luar, tepatnya yang tidak berhubungan dengan kebiasaan di pesantren sekalipun. Pada umur 25 tahun, beliau menikah dan selanjutnya menjadi kepala pasar Sarang selama 10 tahun. Beliau juga pernah menjadi anggota DPRD Kabupaten Rembang selama 7 tahun. Setelah berakhirnya masa tugas, beliau mulai berkonsentrasi mengurus pondoknya yang baru berdiri selama 7 atau 8 tahun. Tapi rupanya tenaga dan pikiran beliau masih dibutuhkan oleh negara sehingga beliau diangkat menjadi anggota MPR RI utusan Jateng selama tiga periode.

Dalam dunia politik beliau tergolong kiai yang adem ayem. Di saat NU sedang ramai mendirikan PKB (1998) Mbah Mun lebih memilih diam dan istiqamah di PPP, partai dengan gambar Ka’bah.

Keharuman nama dan kebesaran beliau sudah tidak bisa dibatasi lagi dengan peta geografis. Banyak sudah kiai dan santri yang berhasil “jadi orang” karena ikut di-gulo wentah dalam pesantren beliau.

Dan telah terbukti bahwa ilmu- ilmu yang beliau miliki tidak  cuma membesarkan jiwa beliau secara pribadi, tapi juga membesarkan setiap santri yang bersungguh- sungguh mengecap tetesan ilmu dari Beliau.*) Agus Fathudin Yusuf tercatat sebagai wartawan senior Suara Merdeka. Merupakan pria asli Banyumas, dan memiliki fokus konsentrasi ke dunia santri dan pesantren. Menjadi salah satu penggerak program ‘Gerakan Santri Menulis’ Suara Merdeka yang sudah keliling ratusan pesantren se Jawa Tengah setiap bulan Ramadhan. Tulisan ini merupakan bentuk ‘khidmah’ kepada KH Maimoen Zubair (Mbah Moen) dan sudah dibukukan di ‘Gerakan Santri Menulis’.